Home » » Saatnya “Malaikat Putih” Bernyanyi kembali

Saatnya “Malaikat Putih” Bernyanyi kembali


     Tuteng Purwa, Kepala Desa Cisitu, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, bernostalgia dengan suasana desanya yang masih ramai dengan kicauan aneka burung sekitar 20 tahun silam. Rindu dengan suasana itu, ia bersemangat diajak Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga menjaga burung jalak putih (Sturnus Melanopterus), yang dulu menjadi kawan petani menggarap sawah. “Selain jalak, dulu banyak burung caladi disekitar sini. Kalau cuaca cerah, mereka ramai berkicau. Sekarang suasananya tak seperti itu. Apakah karena alam ini sedemikian rusak sehingga burung-burung itu punah?” kata Tuteng, akhir Maret lalu.

Burung Jalak Putih (Sturnus Melanopterus), merupakan satwa endemic Jawa Barat yang terancam punah dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Pusat Penyelamatan Satwa Cikanangagi kecamatan Nyalindung, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menangkarkan satwa dengan tujuan konservasi dan melepasliarkan burung ini, pertengahan Maret lalu.

     Pada hari itu, sebagai kepala desa, Tuteng menyatakan dukungannya untuk mau terlibat dalam pelestarian burung jalan putih. Bersama dua kepala desa lainnya, yaitu Kepala desa Cimerang dan Kepala desa Citamiang, Tuteng menandatangani surat keputusan bersama tentang peran serta masyarakat desa dalam pelestarian jalak putih.

     Inti dari surat keputusan bersama itu, antara lain, mewajibkan warga tiga desa tersebut untuk tidak mengganggu jalak putih hasil pelepasliaran serta menjaga habitatnya dengan cara menghijaukan kembali lahan kritis. Warga dilarang keras menangkap dan memperjualbelikan jalak putih serta tidak boleh menebang pohon yang dipergunakan sebagai sarang burung itu, baik dilahan pribadi maupun dilahan umum. Untuk mengawalnya, pemerintah desa membentuk satuan tugas khusus. Petugasnya berwenang memberi penyuluhan kepada warga tentang kelestarian jalak putih. Petugas juga wajib menyita barang bukti pelanggaran dan membawa kasus kepersidangan desa. Jika masalah tak selesai, kasus diserahkan ke polisi.

     Resit Sozer, Direktur Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC), menyatakan jalak putih adalah satwa endemik Jawa Barat. Masyarakat sunda menyebutnya kerak bodas. Ada juga yang menjulukinya burung malaikat putih karena sebagian besar bulunya berwarna putih bersih, dan ada warna hitam diujung sayap. Ukurannya tak lebih besar dari burung merpati.

     “International Union for Conservation of Nature (lembaga internasional untuk konservasi alam) menyebutkan bahwa jalak putih berada di ambang kepunahan. Penurunan polulasi secara drastis disebabkan oleh perburuan liar,” kata Resit. Ia menyayangkan kepunahan satwa itu. Sebab, keberadaannya justru bermanfaat bagi manusia, terutama petani. Jalak putih adalah pemakan ulat, belalang, dan jangkrik. Tiga hewan itu adalah hama bagi pertanian padi. Burung ini juga gemar hinggap dipunggung kerbau untuk mencari serangga.

     PPSC mulai menangkarkan jalak putih sejak tahun 2004, dari sembilan ekor sumbangan masyarakat, ada juga hasil penyitaan. Hingga sekarang jumlahnya sudah mencapai 209 ekor. Burung itu dilepasliarkan secara bertahap. Stephan Bulk, peneliti satwa di PPSC, menyatakan jalak putih termasuk golongan burung yang produktif menghasiklan keturunan. Sepanjang tahun 2011 lalu, misalnya satu pasang jalak putih menghasilkan tiga butir telur.

     “Tujuh kali bertelur dalam satu tahun itu terlalu banyak. Normalnya mereka bertelur tiga kali saja dalam satu tahun. Kami sampai perlu membuat program reproduksi bagi mereka. Jika tak diatur seperti itu, kualitas genetiknya akan berkurang,” kata peneliti berkebangsaan Jerman itu. Sebelum dilepasliarkan, kata Stephan, jalak putih dilatih beradaptasi dengan alam liar, seperti membaui pepohonan, berkompetisi mencari makan dengan sesama, hingga latih terbang di dalam sangkar besar. Menurut dia, pola itu untuk menjaga daya hidup burung di alam bebas. Jika berhasil dan mendapat dukungan masyarakat, suasana desa tak lagi senyap karena “malaikat putih” siap melantunkan kicauan paling merdu.


 


0 komentar: